Oleh: Amri Ikhsan
Guru sebagai manusia dalam melaksanakan proses pembelajaran kadang kadang membuat keputusan yang tidak selalu ‘pas’ dengan yang sebenarnya. Sering guru memberi ‘cap’ siswa ‘nakal’, sering melanggar aturan sekolah atau tidak mau belajar selama proses pembelajaran, malah siswa itu ‘paling hormat’ ketemu guru setelah tamat.
Sedang siswa yang diberi ‘gelar’ siswa rajin atau sopan, patuh selama berada di sekolah, malah kadang kadang menghindar bila ketemu guru di luar sekolah. Ada juga siswa yang diberi nilai ‘rendah’ dalam mata pelajaran tertentu, malah ‘sukses’ waktu kuliah di perguruan tinggi, sedang siswa yang sering mendapat ‘peringkat kelas’ malah tidak kuliah.
Kadang kadang ditemukan siswa yang ‘dekat’ dengan guru, siswa yang sering ‘berada di kantor atau guru sering ‘minta tolong’ untuk membeli sesuatu, maka siswa itu diberi nilai tinggi apapun hasil ujiannya. Tapi, ada siswa yang jarang ‘membantu’ guru, malah mendapat nilai rendah.
Tetapi, keberadaan informasi yang ‘melimpah ruah’ membuat kita ‘kebingungan’ dan memaksa kita untuk membuat kesimpulan lebih awal dalam berpikir. “Kecepatan’ berpikir ini sering membuat guru ‘kurang tepat’ dalam menyimpulkan sesuatu. Menurut para ahli, kecepatan menyimpulkan sering menyebabkan ‘error’ yang dikenal dengan istilah bias kognitif.
Ketika guru membuat penilaian dan keputusan dalam pembelajaran, adakalanya guru tidak selalu berpikir objektif. Proses berpikir kita bisa secara tidak sadar dipengaruhi oleh peristiwa masa lalu atau informasi yang pernah kita pelajari. Kalau kita tidak hati-hati, bias kognitif bisa mengarahkan kita pada penilaian yang salah dan keputusan yang tidak tepat (pemimpin.ID).
Menurut Ross (2014), bias kognitif adalah kesalahan dalam pemikiran, menilai, mengingat maupun proses kognitif lainnya yang sering timbul sebagai buah dari keteguhan akan pilihan atau preferensi/kesukaan. Bisa juga berupa keyakinan dengan mengesampingkan informasi yang bertentangan atau berbeda.
Ada juga yang mengatakan bias kognitif adalah kondisi yang terjadi karena adanya kesalahan sistematis dalam berpikir, memproses, dan menafsirkan informasi, sehingga hal tersebut kemudian memengaruhi cara mereka menilai serta mengambil keputusan (medium.com).
Ada beberapa bias kognitif yang bisa saja terjadi dalam proses pembelajaran:
Anchoring bias juga dikenal sebagai jebakan relativitas (pemimpin.ID). Bias ini terjadi karena guru cenderung membandingkan dan mengontraskan hal-hal yang terbatas. Dalam konteks ini, guru ‘terlalu’ percaya dengan ‘pandangan pertama’. Kalau guru waktu pertama mengajar menemukan ada siswa yang ‘bisa’ menjawab pertanyaan, maka dengan informasi dia selalu percaya bahwa siswa itu ‘selalu’ pintar.
Bias self-serving. Saat hasil ujian siswa tinggi, maka guru itu mengatakan bahwa itu semuanya berkat dirinya yang berhasil dalam mengajar siswa dalam pembelajaran. Tapi saat nilai siswanya jelek, maka dia akan mengatakan bahwa itu dikarena siswanya tidak mau belajar.
Bias optimisme dan pesimisme, Guru merasa benar-benar akan berhasil dalam melaksakan proses pembelajaran disaat hatinya senang dan gembira, dan merasa akan gagal saat sedang sedih atau merasa tidak bahagia.
Sesuai namanya, optimisme berarti membesarkan potensi positif satu kejadian saat senang, dan pesimisme berarti membesarkan potensi negatif suatu kejadian saat dirundung kesedihan. Bahaya dari bias kognitif ini adalah perasaan dapat memengaruhi pengambilan keputusan, sehingga lebih berisiko (idntimes).
Bias negative, Saat guru ‘marah’, maka guru tersebut selalu ingat dengan kejelekan siswanya, dibandingkan ‘kebaikan’ yang dibuat siswa. Sebenarnya kelas ini adalah kelas favorite, tapi adakalanya guru ‘malas’ masuk, karena teringat dengan ‘kelakukan jelek’ seorang siswa.
Bias declinism (Baumann), "kelakuan anak ‘minta ampun’. Tidak sama dengan waktu kita sekolah zaman dulu!". Sangat sering guru membandingkan kelakuan dan akhlak siswa di masa kini dibandingkan siswa zaman ‘bengen’.
Saat guru ‘menasehati’ siswanya perihal adab siswa zaman now, guru selalu ‘memuji’ kelakuan siswa zaman dulu, pokoknya siswa masa lalu lebih baik daripada masa kini.
Efek bandwagon, bias dalam pengambilan keputusan karena guru terpengaruh tren (Ross, 2014). Di saat pandemi covid-19, tren pembelajaran saat itu adalah menggunakan berbagai macam platform pembelajaran. Pembelajaran ‘diarahkan’ untuk menggunakan teknologi.
Si guru ini karena ikut ‘trend’ dan ‘ngikut’ teman, terpaksa menggunakan berbagai macam platform pembelajaran walaupun sebenarnya guru tesebut tidak menguasai ‘benar’ platform tersebut. Karena mayoritas guru mendigitalisasi pembelajaran, maka terpaksa guru itu ‘ikut ikutan’.
Efek burung unta (Ross, 2014), walaupun sudah sering diberitahu untuk tidak menggunakan ‘metode ceramah’ dalam proses pembelajaran, guru tetap lebih banyak mengajar dengan berceramah. Sifat burung unta, walau sebenarnya tidak ada bahaya, burung unta lumrah digambarkan membenamkan kepalanya ke dalam tanah jika bahaya datang.
Sesuai dengan perilaku tersebut, guru yang terkena bias burung unta ini sering mengabaikan data negatif terhadap sebuah informasi. Dia tidak tidak percaya dengan sebuah informasi walaupun sebagaiann guru lain percaya dengan informasi tersebut.
Efek kebaruan informasi, kecenderungan mempertimbangkan masukan baru dibandingkan masukan lama, atau keinginan mendapatkan informasi kognitif yang mudah, dibandingkan yang butuh pemikiran dan analisis keras (pemimpin.ID). Dalam konteks pembelajaran, guru ini tidak ingin ‘ribet’, tidak suka ‘sibuk sibuk’ menyiapkan media pembelajaran, bawa ini, bawa itu. Menurut guru ‘jenis’ ini, kegiatan ini merepotkan.
Padahal menggunakan media pembelajaran itu sangat penting dalam proses pembelajaran.Atau dalam menulis bibit soal, sangat dianjurkan masing masing soal memiliki ‘stimulus’ sebagai bahan bagi siswa dalam menjawab soal, karena ini merepotkan, sebagian guru lebih cenderung mengabaikan stimulus ini.
Bias ini juga muncul bila guru berpendapat bahwa teknologi terbaru, atau aplikasi pembelajaran terbaru sudah pasti yang bagus. Padahal, belum tentu dan bisa saja barang baru tidak jauh beda dengan yang lama.
Efek halo, bias yang didasari dari kesan pertama yang mempengaruhi penilaian terhadap seseorang secara keseluruhan (Ross, 2014). Kalau seorang siswa pada latihan pertama diawal tahun pelajaran mendapat nilai baik, maka ada sebagian guru ‘mengklaim’ bahwa siswa itu pintar dan setiap memberi nilai siswa itu selalu diberi nilai bagus. Padahal, belum tentu siswa itu menguasai semua materi pembelajaran.
Memang sangat manusiawi, guru ‘agak kurang tepat’ dalam membuat keputusan dalam proses pembelajaran, mungkin begitu banyak tugas dan beban ‘ekstra’ yang mesti dikerjakan, termasuk rutinitas yang dilakukan dari hari ke hari, minggu ke minggu, yang dikerjakan ‘itu itu’ saja.
Mari kita belajar dari bias kognitif untuk membuat pembelajaran lebih bermakna! Wallahu a'lam bish-shawab!
*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah