Oleh: Triana Deswita
Sepanjang tahun 2022 pertanggal 10 September hingga 5 Februari 2023 di jumpai banyak kasus atau pengaduan gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak kisaran umur <1 tahun dan anak 1-5 tahun, usut punya usut dan berbagai penelitian, gangguan ginjal akut atas anak ini disimpulkan terjadi karena obat sirup yang di minum oleh anak yang biasanya di kosumsi oleh anak ketika sakit.
Di dalam sampel kandungan sirup ditemukan ada cemaran EG dan EDG hal ini berdasarkan keterangan dari Kemenkes dan BPOM adapun, Ditipiter Bareskrim Polri membuka suara bahwa senyawa EG dan EDG dalam bahan baku obat diakui sengaja dioplos oleh perusahaan penyuplai bahan baku tambahan untuk dikirim kepada industri farmasi.
Berikut penulis akan menyampaikan bagaimana kasus ini disebut sebagai pelanggaran HAM.
Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan sebelumnya timbul pertanyaan,di mana letak kehadiran negara sehingga kasus ini bisa terjadi? Apa bentuk nyata campur tangan pemerintah? Bukankah setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang?.
Hasil analisis data laporan dugaan kasus GGAPA yang di terima Kemenkes RI per 1 Maret 2023, ditemukan sebanyak 408 laporan, tidak semua korban di lakukan pengujian Toksikologi hal ini di karenakan diantara korban sudah ada yang meninggal dunia ±115 anak paling tidak saat 5 oktober 2022.
Selanjutnya, senyawa kimia EG dan EDG sudah di kategorikan sebagai salah satu jenis bahan berbahaya dan beracun (B3) sesuai dengan lampiran PP 74 tahun 2001 tentang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, dalam hal ini industri farmasi sudah bertentangan dan tidak memenuhi prinsip-prinsip bisnis dan HAM sebagaimana dalam pedoman yang dikeluarkan PBB .
Adapun pencemaran obat sirup ini seharusnya dapat diketahui lebih dini, agar tidak banyak memakan korban dan mengambil hak mereka untuk bisa hidup sehat. Ternyata, selama ini fokus BPOM hanya terkait hasil pengujian terhadap bahan aktif hingga impuritiesnya sedangkan bahan baku penolong atau bahan baku tambahan tidak terlalu di awasi sehingga perusahaan yang tidak menguji kualitas bahan baku tersebut bisa lolos.
BPOM RI mengakui dalam proses penanganan kasus ini ada kesulitan dalam mengakses sampel obat yang di konsumsi korban dari pihak KEMENKES, sehingga BPOM RI melakukan uji mandiri menggunakan sampel dari register obat yang di milikinya sedangkan, KEMENKES butuh waktu ± 6 hari untuk menemukan atau mendapatkan akses dalam pengujian sampel obat padahal fasilitas laboratorium BPOM RI telah memenuhi standar International.
Dari sini terlihat adanya miskomunikasi antara BPOM RI dan KEMENKES faktor ini yang menjadikan adanya tindakan membiarkan dan tidak efektif dari 2 lembaga tersebut.
Beberapa pelanggaran HAM yang terjadi dari kasus Gangguan Ginjal Progresif Atipikal (GGAPA) berdasarkan UUD NRI 1945 :
Pertama Hak anak atas kelangsungan hidup,tumbuh dan berkembang. Kedua Hak untuk hidup. Ketiga Hak sehat. Keempat Hak atas kesejahteraan hidup. Kelima Hak konsumen.
Keenam Pelanggaran terhadap prinsip bisnis dan hak asasi manusia.
Dari uraian di atas hendaknya pemerintah lebih transparan dan tanggap dalam menanggapi kasus GGAPA dan memenuhi hak asasi masyarakat, menguatkan regulasi dan tata kelola antar lembaga serta berupaya memperbaiki kebijakan dan tindakan yang menimbulkan kerugian masyarakat sehingga hal demkian dapat di cegah dan di sadari lebih dini.selanjutnya,penulis juga berharap adanya perlindungan bagi korban dan keluarga untuk menjamin ha mereka untuk hidup sejahtera. (Penulis adalah mahasiswi semester 4 Fakultas Hukum Universitas Jambi)