Kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif  Atipikal (GGAPA) sebagai Pelanggaran HAM

Sabtu, 18 Maret 2023 | 14:23:26 WIB

()

Oleh: Triana Deswita

Sepanjang tahun 2022 pertanggal 10 September  hingga 5 Februari 2023 di jumpai banyak kasus atau pengaduan  gagal ginjal akut  yang menyerang anak-anak kisaran umur <1 tahun dan anak 1-5 tahun, usut punya usut dan berbagai penelitian, gangguan ginjal akut  atas anak ini disimpulkan terjadi karena obat sirup yang di minum oleh anak yang biasanya di kosumsi oleh anak ketika sakit. 

Di dalam sampel kandungan sirup ditemukan ada cemaran EG dan EDG hal ini berdasarkan keterangan dari  Kemenkes dan BPOM  adapun,  Ditipiter Bareskrim Polri membuka suara bahwa senyawa EG dan EDG dalam bahan baku obat diakui sengaja dioplos oleh perusahaan penyuplai  bahan baku tambahan  untuk dikirim kepada industri farmasi.

Berikut penulis akan menyampaikan bagaimana kasus ini disebut sebagai pelanggaran HAM.

Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan sebelumnya timbul  pertanyaan,di mana letak kehadiran negara sehingga kasus ini bisa terjadi? Apa bentuk nyata campur tangan pemerintah? Bukankah setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang?.

Hasil analisis data laporan dugaan kasus GGAPA yang di terima Kemenkes RI  per 1 Maret 2023, ditemukan sebanyak 408 laporan, tidak semua korban di lakukan pengujian Toksikologi  hal ini di karenakan diantara korban sudah ada yang meninggal dunia ±115 anak paling tidak saat 5 oktober 2022.

Selanjutnya, senyawa kimia EG dan EDG  sudah di kategorikan  sebagai salah satu jenis bahan berbahaya dan beracun (B3) sesuai dengan lampiran PP 74 tahun 2001 tentang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, dalam hal ini industri farmasi sudah bertentangan dan tidak memenuhi prinsip-prinsip bisnis dan HAM sebagaimana dalam pedoman yang dikeluarkan PBB . 

Adapun pencemaran obat sirup ini seharusnya dapat diketahui lebih dini, agar tidak banyak memakan korban dan mengambil hak mereka untuk bisa hidup sehat. Ternyata, selama ini fokus BPOM hanya terkait hasil pengujian terhadap bahan aktif hingga impuritiesnya sedangkan bahan baku penolong atau bahan baku tambahan tidak terlalu di awasi  sehingga perusahaan yang tidak menguji kualitas  bahan baku tersebut bisa lolos.

BPOM RI mengakui dalam  proses penanganan kasus ini ada kesulitan dalam mengakses sampel obat yang di konsumsi korban dari pihak KEMENKES, sehingga BPOM RI melakukan uji mandiri menggunakan sampel dari register obat yang di milikinya sedangkan, KEMENKES butuh waktu ± 6 hari untuk menemukan atau mendapatkan akses dalam pengujian sampel obat padahal fasilitas laboratorium BPOM RI telah  memenuhi standar International.

Dari sini terlihat adanya miskomunikasi antara BPOM RI dan KEMENKES faktor ini yang menjadikan adanya tindakan membiarkan dan tidak efektif  dari 2 lembaga tersebut.

Beberapa pelanggaran HAM yang terjadi dari kasus Gangguan Ginjal  Progresif Atipikal (GGAPA) berdasarkan UUD NRI 1945 :

Pertama  Hak anak atas kelangsungan  hidup,tumbuh dan berkembang. Kedua  Hak untuk hidup. Ketiga Hak sehat. Keempat Hak atas kesejahteraan  hidup. Kelima Hak konsumen.

Keenam  Pelanggaran terhadap prinsip bisnis  dan hak asasi manusia.

Dari uraian di atas hendaknya pemerintah lebih transparan dan tanggap dalam menanggapi kasus GGAPA dan memenuhi hak asasi masyarakat, menguatkan regulasi dan tata kelola antar lembaga serta berupaya memperbaiki  kebijakan dan tindakan yang menimbulkan kerugian masyarakat sehingga hal demkian dapat  di cegah dan di sadari lebih dini.selanjutnya,penulis juga berharap adanya perlindungan bagi korban dan keluarga  untuk menjamin ha mereka untuk hidup sejahtera. (Penulis adalah mahasiswi semester 4 Fakultas Hukum Universitas Jambi)






BERITA BERIKUTNYA
loading...